Selasa, 15 Juni 2010

0 komentar
I.A Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
Ada bermacam-macam hadits, seperti yang diuraikan di bawah ini.
• Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi
o Hadits Mutawatir
o Hadits Ahad
 Hadits Shahih
 Hadits Hasan
 Hadits Dha'if
• Menurut Macam Periwayatannya
o Hadits yang bersambung sanadnya (hadits Marfu' atau Maushul)
o Hadits yang terputus sanadnya
 Hadits Mu'allaq
 Hadits Mursal
 Hadits Mudallas
 Hadits Munqathi
 Hadits Mu'dhol
• Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
o Hadits Maudhu'
o Hadits Matruk
o Hadits Mungkar
o Hadits Mu'allal
o Hadits Mudhthorib
o Hadits Maqlub
o Hadits Munqalib
o Hadits Mudraj
o Hadits Syadz
• Beberapa pengertian dalam ilmu hadits
• Beberapa kitab hadits yang masyhur / popular
A Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya Perawi
a. Hadits Mutawatir
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Berita itu mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa dikatakan sebagai hadits Mutawatir:
1. Isi hadits itu harus hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera.
2. Orang yang menceritakannya harus sejumlah orang yang menurut ada kebiasaan, tidak mungkin berdusta. Sifatnya Qath'iy.
3. Pemberita-pemberita itu terdapat pada semua generasi yang sama.
b. Hadits Ahad
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhonniy". Sebelumnya para ulama membagi hadits Ahad menjadi dua macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha'if. Namun Imam At Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:
c. Hadits Shahih
Menurut Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit (kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu'allal (tidak cacat). Jadi hadits Shahih itu memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
1. Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur'an.
2. Harus bersambung sanadnya
3. Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.
4. Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)
5. Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)
6. Tidak cacat walaupun tersembunyi.


d. Hadits Hasan
Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.
e. Hadits Dha'if
Ialah hadits yang tidak bersambung sanadnya dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.
B. Menurut Macam Periwayatannya
a. Hadits yang bersambung sanadnya
Hadits ini disebut hadits Marfu' atau Maushul. Menurut Bukhari, hadits dikatakan shahih apabila sanad yang bersambung itu pernah bertemu dengan Nabi . Artinya, antara perawi terdekat pernah terjadi pertemuan. Meskipun pertemuan tersebut hanya terjadi satu kali, haditsnya sudah dapat dikatakan sebagai hadits yang sanadnya bersambung.
b. Hadits yang terputus sanadnya
b.1 Hadits Mu'allaq
Hadits ini disebut juga hadits yang tergantung, yaitu hadits yang permulaan sanadnya dibuang oleh seorang atau lebih hingga akhir sanadnya, yang berarti termasuk hadits dha'if.
b.2 Hadits Mursal
Disebut juga hadits yang dikirim yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'in dari Nabi Muhammad SAW tanpa menyebutkan sahabat tempat menerima hadits itu.
c.3 Hadits Mudallas
Disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad ataupun pada gurunya. Jadi hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya.
b.4 Hadits Munqathi
Disebut juga hadits yang terputus yaitu hadits yang gugur atau hilang seorang atau dua orang perawi selain sahabat dan tabi'in.
b.5 Hadits Mu'dhol
Disebut juga hadits yang terputus sanadnya yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para tabi'it dan tabi'in dari Nabi Muhammad SAW atau dari Sahabat tanpa menyebutkan tabi'in yang menjadi sanadnya. Kesemuanya itu dinilai dari ciri hadits Shahih tersebut di atas adalah termasuk hadits-hadits dha'if.

C. Hadits-hadits dha'if disebabkan oleh cacat perawi
c.1 Hadits Maudhu'
Yang berarti yang dilarang, yaitu hadits dalam sanadnya terdapat perawi yang berdusta atau dituduh dusta. Jadi hadits itu adalah hasil karangannya sendiri bahkan tidak pantas disebut hadits.
c.2 Hadits Matruk
Yang berarti hadits yang ditinggalkan, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi saja sedangkan perawi itu dituduh berdusta.
c.3 Hadits Mungkar
Yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya / jujur.
c.4 Hadits Mu'allal
Artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa disebut juga dengan hadits Ma'lul (yang dicacati) atau disebut juga hadits Mu'tal (hadits sakit atau cacat).
c.5 Hadits Mudhthorib
Artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidak sama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan.
c.6 Hadits Maqlub
Artinya hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi).
c.7 Hadits Munqalib
Yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah.
c.8 Hadits Mudraj
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang didalamnya terdapat tambahan yang bukan hadits, baik keterangan tambahan dari perawi sendiri atau lainnya.
c.9 Hadits Syadz
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya) yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi (periwayat / pembawa) yang terpercaya pula. Demikian menurut sebagian ulama Hijaz sehingga hadits syadz jarang dihapal ulama hadits. Sedang yang banyak dihapal ulama hadits disebut juga hadits Mahfudz.
IV. Beberapa pengertian (istilah) dalam ilmu hadits
d.1 Muttafaq 'Alaih
Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, atau dikenal juga dengan Hadits Bukhari - Muslim.
d.2 As Sab'ah
As Sab'ah berarti tujuh perawi, yaitu:
1. Imam Ahmad
2. Imam Bukhari
3. Imam Muslim
4. Imam Abu Daud
5. Imam Tirmidzi
6. Imam Nasa'i
7. Imam Ibnu Majah
d.3 As Sittah
Yaitu enam perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.
d.4 Al Khamsah
Yaitu lima perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Bukhari dan Imam Muslim.
d.5. Al Arba'ah
Yaitu empat perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.
d.6 Ats tsalatsah
Yaitu tiga perawi yang tersebut pada As Sab'ah, kecuali Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.
d.7 Perawi
Yaitu orang yang meriwayatkan hadits.
d.8 Sanad
Sanad berarti sandaran yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij) hadits itu atau mudawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa disebut juga dengan Isnad berarti penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga.

d.9 Matan
Matan ialah isi hadits baik berupa sabda Nabi Muhammad SAW, maupun berupa perbuatan Nabi Muhammad SAW yang diceritakan oleh sahabat atau berupa taqrirnya.
V. Tingkatan Keshahihan
Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:
Tingkatan paling tingginya adalah bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.
Yang dibawah itu lagi tingkatannya, yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka (tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan:
• Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)
• Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
• Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
• Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
• Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari sementara dia tidak mengeluarkannya
• Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim sementara dia tidak mengeluarkannya
• Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
VI. Kedudukan Hadits Shahih

Sebenarnya di dalam sebuah hadits yang berstatus shahih, masih ada level
atau martabat lagi. Ada yang tinggi nilai keshahihannya, ada yang
menengah dan ada yang agak rendah.

Semuanya disebabkan oleh nilai kedhabitan (kekuatan ingatan) dan
keadilan perawinya. Ada sebagian perawi yang punya kekuatan ingatan yang
melebihi perawi lainnya. Demikian juga dari sisi 'adalah-nya,
masing-masing punya nilai sendiri-sendiri.

Kalau kita susun berdasarkan kriteria itu, maka kita bisa membuat daftar
berdasarkan dari yang nilai keshahihannya paling tinggi ke yang paling
rendah.

1. Ashahhu'l-asanid
2. Muttafaq-'alaihi
3. Infrada bihi'l Bukhary
4. Infrada bihi'l Muslim
5. Shahihun 'ala syartha'i'l-Bukhary wa Muslim
6. Shahihun 'ala syarthi'i'l-Bukhary
7. Shahihun 'ala syarthi'i'l-Muslim
VII. Hukumnya
Wajib mengamalkannya menurut kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak mengamalkannya.
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/hadits

Khumaidi, Irham. Ilmu Hadits untuk Pemula. CV Artha Rivera. Jakarta (2008)
Abu Al Maira. Ilmu Hadits.2007
0 komentar

Kata Pengantar
            Puji syukur kami panjatkan kepada Rida Illahi karena berkat Rahmat dan Karunia-Nya kami berhasil menyelesaikan makalah yang telah diberikan oleh dosen kami. Tidak lupa juga kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Kami juga menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami mohon saran dari para pembaca sekalian demi perbaikan makalah yang selanjutnya.
            Makalah ini memuat tema “Pemikiran kalam Hasan Albani dan Maududi”.   Kedua tokoh ini adalah tokoh yang mempengaruhi dunia islam terutama di India dan Pakistan serta di Mesir.  Dalam penjelasannya mengenai teori penyusutan dan pengembangan interpretasi agama, ia menjelaskan bahwa teori ini mendasar pada interpretasi epistemologi yang ada pada tiga bidang keilmuan, yakni kalam (teologi Islam), ushul fiqh (logika terapan dalam yurisprudensi agama), dan ‘irfan (dimensi esoteris Islam).
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.


Penyusun, 14 April 2010


Penyusun


DAFTAR ISI
BAB I P E N D A H U L U A N
I.A Latar Belakang                                                     3
I.B Tujuan                                                                   3
I.C Sistematika                                                           3
BAB II P E M B A H A S A N
II.A Biografi Maududi                                                  5
A.I Free will dan predestinastion                                  7
A.II Kekuasaan Mutlak Tuhan                                      7
A.III Keadilan Tuhan                                                    8
II.B Biografi Hasan Albana                                           9
B.I Keadilan Tuhan                                                       10
B.II Jihad                                                                       10
B.III Aqidah                                                                  11
B.IV Kekuasaan Tuhan                                                 11
BAB III PENUTUP
III.A Kesimpulan                                                           12
III.B Saran                                                                     12
            DAFTAR PUSTAKA                                                                        12








BAB I
PENDAHULUAN
I.A Latar Belakang
Secara harfiah kalam berarti perkataan[1]. Sedangkan Ilmu Kalam sendiri dapat dipahami sebagai suatu kajian ilmiah yang berupaya untuk memahami keyakinan-keyakinan keagamaan dengan didasarkan pada argumentasi yang kokoh. Al-Iji pernah mengidentifikasi beberapa sebab yang mungkin menjadi alasan penamaan disiplin keilmuan ini dengan istilah Ilmu Kalam, yaitu: (1) Ilmu Kalam sebagai oposisi bagi Logika di kalangan filsuf; (2) Diambil dari judul bab-bab dalam buku dengan pembahasan terkait yang umumnya diawali dengan perkatan “al-kalam fi“ (atau: pembahasan tentang); dan (3) Dinisbatkan kepada isu paling populer dalam perdebatan kaum mutakallim (ahli kalam), yaitu tentang kalam Allah.

I.B Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kelompok yang telah diberikan oleh Bpk Annis mengenai pemikiran kalam Hasan Albani dan Maududi.

I.C Sistematika
Untuk memudahkan pemahaman, maka kami menggunakan sitematika yang terdiri dari beberapa sub bab :
BAB I P E N D A H U L U A N
I.A Latar Belakang
I.B Tujuan
I.C Sistematika
BAB II P E M B A H A S A N
II.A Biografi Maududi
A.I Free will dan predestinastion
A.II Kekuasaan Mutlak Tuhan
A.III Keadilan Tuhan
II.B Biografi Hasan Albana
B.I Keadilan Tuhan
B.II Jihad
B.III Aqidah
B.IV Kekuasaan Tuhan
BAB III PENUTUP
III.A Kesimpulan
III.B Saran














BAB II
PEMBAHASAN
II.A Biografi Maududi
Maududi, lahir 3 Rajab 1321 H/25 September 1903 di Aurangabad, Hyderabad,pada saat ini menjadi negara bagian Andhra Pradesh India[2]. Ayahnya bernama Ahmad Hasan (1855-1919), seorang pengacara yang religius, dan berpendidikan dari Alighar University yang didirikan oleh Ahmad Khan (1817-1898), pembaru Islam di India.
Pendidikannya yan pertama yaitu dari ayahnya, kemudian Madrasah Fauqaniyah, pengajarannya menggabungkan antara pemikiran  Barat Modern dengan pemikiran Islam tradisional. Kemudian di Perguruan Tinggi Dar al-‘Ulum di Hyderabad beliau tidak melanjutkan kuliah, yang disebabkan  ayahnya wafat. Kemudian ia belajar secara otodidak, dengan bekal bahasa Arab, Inggris, Persia, dan Urdu.
Karya tulisnya, antara lain : Jihad fi al-Islam (1930), Risala-‘i Diniyat 1930) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Towards Understanding Islam (1940) dan telah diterjemahkan ke dalam 13 bahasa dunia, Tafhim al-Qur’an, terjemah dan tafsir al-Qur’an bahasa Urdu di tulis selama 30 tahun (1942-1972), The Islamic Law and Constitution (1955), berisi rumusan konsep Islam dalam bidang politik yang disesuaikan dengan tuntutan zaman modern.
Maududi, awalnya sebagai wartawan, sejak usia 15 tahun. Kemudian di usia 17 tahun sia menjadi seorang editor Taj (1920), surat kabar berbahasa Urdu terbit di Jabalpore, serta pemimpin editor Muslim (1921-1923), Al-Jami‘iyyat (1925-1928). Kedua surat kabar itu milik organisasi Jami‘iyyati ‘Ulama’i Hind, organisasi Islam India saat itu. Ia berhasil membawa Al-Jami‘iyyat menjadi surat kabar berpengaruh besar di India tahun 1920-an. Tahun 1932, ia pindah ke Hyderabad (Deccan), memimpin Tarjumah al-Qur’an, majalah bulanan yang bertemakan kebangkitan Islam.
Di tahun 1920-an ia ikut gerakan Khilafat (Khilafat Movement) pimpinan Muhammad Ali (1878-1931) dan Abu al-Kalam Azad (1898-1958), beliau juga pernah menjadi anggota Tahrik-i Hijrat, suatu gerakan anti Inggris di India. Namun, kemudian ia lebih banyak aktivitasnya di bidang ilmiah dan jurnalistik tahun 1930-an. Pernah menjadi Dekan Fakultas Teologi pada Islamic College di Lahore tahun 1938-an.
Ia sebagai pejuang Islam, tahun 1941 beliau mendirikan Jema’at-i Islam-i dan memimpinnya selama 3 tahun, yang bertujuan untuk membentuk tatanan dunia Islam atau masyarakat yang Islami dalam arti hukum, politik dan sosial. Kemudian beliau pindah ke Pakistan setelah merdeka (1947). Ia merupakan salah satu kubu dari tiga model pemikiran tentang konstitusi negara itu.
1. Tradisionalis, yang menginginkan konstitusi berdasarkan syari’at yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah, dan hasil ijtihad dalam kitab-kitab fiqih.
2. Modernis, menghendaki berdasarkan al-Qur’an dan sunnah dengan penafsiran yang liberal.
3. Westernis, yang ingin menerapkan konsep negara demokrasi di Barat berlaku di Pakistan. Maududi termasuk kelompok yang pertama dengan Jema’at ‘Ulama al-Islam, meskipun antara keduanya terdapat perbedaan konsep yang diperjuangkan.
Konsekuensi perjuangan politik, ia sering ditahan oleh rejim penguasa di Pakistan. Selama 20 tahun negara Pakistan berdiri, ia 4 kali ditahan, diadili dan dihukum. Tahun 1948-1950, ia ditahan 20 bulan, tahun 1953 ia dijatuhi hukuman mati, namun dibebaskan tahun 1955, tahun 1964 ditahan 10 bulan, dan terakhir tahun 1967 ditahan lagi 2,5 bulan. Ia wafat tahun 1979, merupakan salah seorang pemimpin Rabitah al-A‘lam al-Islami yang berpusat di Makkah.


A.I Free will dan predestinastion
Maududi berpijak pada manusia yang dikaruniai akal dan pikiran, maka ia mampu berpikir dan mengambil keputusan, memilih dan menolak, mengambil dan mengesampingkan sesuatu. Ia bebas menjalani hidup sesuai dengan sesuai apa pilihanya. Ia bebas memeluk agama, mengambil jalan hidup, merumuskan kehidupan menurut kehendaknya. Dapat dan boleh menciptakan peraturannya sendiri atau mengikuti yang diciptakan orang lain. Ia diberi kebebasan dan dapat menentukan tingkah lakunya. Ia diberi kebebasan dalam berpikir, memilih dan bertindak.
Dengan demikian, karena akal dan pikirannya itulah yang menyebabkan manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan sesuatu ataupun meninggalkannya, dan karena itu pulalah yang membedakannya dari makhluk hidup lainnya.
Ketika itu anak benua india dikuasai Inggris. Maududi mengeluarkan fatwanya yg berani. Ia mengharamkan bekerja untuk berbakti kepada kekuatan penjajah[3]. Fatwa inilah yg menyebabkan Jama’at Islami menghadapi serangan dahsyat dari pihak penjajah sejak awal berdirinya
Adanya predestinasi bagi manusia, menurutnya hanyalah dalam bidang biologi, seperti kelahiran, pertumbuhan dan kehidupan yang diatur secara biologis. Manusia tidak lepas dari hukum tersebut. Semua organ tubuh manusia mematuhi aturan itu. Dengan kata lain, alam semesta beserta seluruh isinya, mengikuti ketetapan yang berlaku yang memang ditetapkan sebagai hukum untuk mengatur alam semesta itu, yang disebut hukum Allah SWT.

A.II Kekuasaan Mutlak Tuhan
Dalam hal ini beliau menyatakan bahwa betapa banyak realitas kekuasaan Allah SWT, yang dapat membuktikan bahwa hanya ada Satu Pencipta, Realitas ini memantulkan sifat-sifat Allah SWT. Kebijaksaan-Nya yang Maha Agung, kekuasaan-Nya yang tanpa batas, dan kekuatan-Nya yang tiada tara.
Dengan demikian, Maududi, dalam hal ini, tidak secara eksplisit membicarakan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam kaitannya dengan kebebasan dan kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya. Disini Maududi mengakui kemampual akal sebagai suatu analisis mengenai manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya. Dengan kata lain ,kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat mutlak-semutlak-nya terhadap ciptaannya.
Bagi pemakalah hal ini hampir mirip dengan pendapat dari seorang filosof  Fedrich Nienche yang menyatakan bahwa “segala perbuatan manusia terbebas dari campur tangan Tuhan, serta apapun yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri adalah hasil dari maunusia itu sendiri dan Tuhan tidak lagi berperan, secara singkat Tuhan itu mati”.

A.III Keadilan Tuhan
Maududi menjelaskan bahwa pada gilirannya seseorang harus mengetahui akibat dari kepercayaan dan ketaatan kepada Allah, dan sebaliknya. Manusia harus mengetahui rahmat yang akan diterima jika ia mengikuti petunjuk Allah, dan juga harus mengetahui akibat yang harus ditanggungnya jika ia memilih jalan pengingkaran. Tuhan akan memberikan pahala kepada setiap manusia, berdasarkan timbangan atas setiap perbuatan baik dan jahatnya. Bagi yang lebih banyak perbuatan baik, akan mendapatkan pahala, dan yang lebih banyak jeleknya akan mendapatkan hukuman.
Permasalahan ini terkait erat dengan keimanan terhadap hari kiamat, yang merupakan kebangkitan manusia untuk dihadapkan pada pengadilan di hari akhir yang suci, itu merupakan pelaksanaan pemberian pahala atau hukuman. Ketika Tuhan memimpin pengadilan dan mengumumkan secara adil, yaitu memberi rahmat kepada orang-orang yang benar, dan menghukum kepada yang salah, tentu ada tempat bagi yang suci untuk menikmati rahmat Tuhan berupa kehormatan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Dan ada pula tempat lain bagi yang dihukumnya untuk merasakan penderitaan. Demikian ini merupakan konsekuensi logis, bahwa setiap perbuatan manusia pasti dipertanggung jawabkan di hadapan Penciptanya guna diberi balasan atas amalnya itu, baik ataupun buruknya, besar maupun kecil, dengan balasan kebaikan ataupun keburukan .
Jadi dapat disimpulkan, bahwa keadilan Tuhan adalah Tuhan mesti memberi pahala kepada orang yang taat kepada-Nya, dan memberi hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya. Dan juga Tuhan tidak mungkin memberi beban manusia di luar kemampuannya.

II.B Biografi Hasan Albana
Hassan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir[4]. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin).
Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo.
Kepergian Hassan al-Banna pun menjadi duka berkepanjangan bagi umat Islam. Ia mewariskan 2 karya monumentalnya, yaitu Catatan Harian Dakwah dan Da'i serta Kumpulan Surat-surat. Selain itu Hasan al-Banna mewariskan semangat dan teladan dakwah bagi seluruh aktivis dakwah saat ini.
Selain itu ia juga dikenal akan cara berdakwahnya yang sangat tidak biasa. Ia terkenal sangat tawadlu dikarenakan ia sering berdakwah di warung-warung kopi tempat oarang-orang yang berpengetahuan rendah berkumpul untuk minum-minum kopi sehabis lelah bekerja seharian. Dan ternyata cara tersebut memang lebih efektif dilakukan dalam berdakwah.
B.I Keadilan Tuhan
Disini Hasan Albana berpandangan sama dengan Maududi menurutnya Muslim yang dicita-citakan adalah Muslim yang tidak menyerah pada kenyataan bahkan bekerja dan berusaha merubahnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah. Dia tidak mencari-cari alasan dengan dalih qadha dan qadar dan takdir-Nya yang tidak bisa ditampik. Dia adalah muslim yang bekerja untuk menegakkan agama, membangun umat dan menghidupkan kebudayaan dan peradaban.
Itulah suatu risalah yang jangkauan waktunya sampai ke akhir zaman, jangkauan ruangnya meliputi seluruh umat manusia dan jangkauan kedalamannya mencakup segala urusan dunia dan akhirat.”[5]

B.II Jihad
Islam adalah jihad, seperti yang dijelaskan oleh Al-Imam Syahid Hasan Al-Banna, maksudnya adalah bahwa Islam telah mewajibkan jihad.Dan Hakikat jihad adalah mengorbankan seluruh tenaga, waktu, fikiran dan harta pada jalan Allah, sekalipun sesuatu yang dikorbankan itu merupakan darah yang ditumpahkan dalam medan perang.
Jihad tidaklah terbatas pada pengorbanan jiwa saja, malah termasuk juga pengorbanan harta benda, jihad pena dan lidah.  Seorang muslim dapat menunaikan jihad secara peribadi, sebagaimana dapat menunaikannya sebagai anggota dalam jamaah; seperti menjadi anggota dalam jamaah Ikhwan Muslimin. Sewaktu menunaikan jihad sebagai anggota dalam jamaah maka haruslah menselaraskan jihadnya dengan langkah-langkah jamaah, sehingga dengan penyelarasan ini hakikat jihad secara jamaah yang dilakukan oleh lkhwan akan tercapai.
Maka dari itulah Ikhwan Muslimin saat ini rela mengorbankan seluruh tenaga, fikiran dan harta mereka untuk berjihad dan menegakkan syariat Allah.
B.III Aqidah
Pandangan-pandangan Hasan al-Banna tentang Aqidah Islam (Al-Aqidah) dan Allah Dalam Aqidah Islam (Allah fi-al- Aqidah Al-Islamiyyah)[6]. Aqidah Islam menurut Hasan al-Banna adalah kepercayaan yang dibenarkan oleh hati yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunah, sehingga akan menjadikan jiwa tenang, tentram, dan bersih dari kebimbangan serta keraguan. Keyakinan itu harus dilahirkan dengan perbuatan atau dengan kata lain aqidah Islam harus melandasi pada semua aspek kehidupan. Secara garis besar al-Banna membagi aqidah Islam menjadi empat tema pokok yaitu tentang Dzat Allah dan al-Asma al-Husna, sifat-sifat Allah, pendapat sarjana ilmu alam, dan ayat dan hadits sifat Mutasyabihah.

B.IV Kekuasaan Tuhan
Pada intinya bahwa konsep tentang Tuhan yang dikemukakan oleh Hasan Albana, juga disebut sebagai dalil pertama yang menyinggung hubungan antara dzat, sifat, dan af'al (perbuatan) Allah. Diterangkan bahwa dzat meliputi sifat, sifat menyertai nama, nama menandai af'al.
Hubungan ini bisa diumpamakan seperti madu dengan rasa manisnya, pasti tidak dapat dipisahkan. Sifat menyertai nama, Nama menandai perbuatan, seumpama. Perbuatan menjadi wahana dzat, seperti samudra dengan ombaknya, keadaan ombak pasti mengikuti perintah samudra.
Menurut Hasan al-Banna, bahwa nama-nama Allah adalah lafazh-lafazh mulia yang memiliki keutamaan lebih atas kalam-kalam yang lain. Di dalamnya ada berkah dan pahala bagi yang menyebutnya Kandungan makna lafadz pada sifat-sifat Allah berbeda dengan makna yang terkandung dalam lafal yang sama pada sifat-sifat makhluk. Sedangkan pendapat para sarjana ilmu alam dinukil al-Banna dengan maksud bahwa pada firahnya manusia berketuhanan, mengakui esensi dan eksistensi Tuhan. Dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat al-Banna berkesimpulan bahwa sebenarnya Al-Qur'an sendiri tidak memberi batasan antara muhkam dan mutasyabihat, tetapi menganjurkan untuk mengembalikan kepada muhkam.

BAB III
PENUTUP
III.A Kesimpulan
            Dari kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan pendangan mereka mengenai kalam tidak jauh berbeda. Mereka berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dalam pemikiran – pemikiran Islam untuk melakukan  pembaharuan Islam dan memberishkan dari pengaruh barat.

III.B Saran
Dalam penyusunan makalah ini penulis meyakini banyak sekali kekurangan dan penulis berharap kepada para pembaca untuk memberikan keritik dan saran yang membangun terhadap makalah ini, sehingga makalh ini akan mencapai kesempunaan. amin

DAFTAR PUSTAKA
Perpustakaan uin sunan gunung jati online
Risalah Hasan Albana
www.wikipedia.com
Pgri1pwk.blogspot.com
http://peziarah.wordpress.com




[1] http://peziarah.wordpress.com
[2] www.wikipedia.com
[3] Pgri1pwk.blogspot.com
[4] www.wikipedia.com
[5] Risalah Hasan Albana
[6] Perpustakaan uin sunan gunung jati online
 

Karya Anak Bangsa Copyright © 2008 Black Brown Art Template by Ipiet's Blogger Template